Tentang Saya

Senin, 28 Juli 2014

Suatu Malam Ketika Kata Berserakan di Udara

 
 
Keindahan seperti senyummu itu, Tuan, telah selayaknya diabadikan dalam puisi. Kelak akan kubacakan padamu dengan mata berbinar agar dapat turut kaurasakan betapa hangat aku setiap di dekatmu. 
 
Kebaikan seperti yang kautunjukkan, Tuan, hanya dapat dibalaskan aksara-aksara yang menyusun dirinya jadi cerita dan legenda. Dari tubuh sajak yang kautanam di jantungku, telah rimbun butir-butir kata yang diam-diam tak pernah lupa merawat tempat istirahat untukmu. 

Bila kau bertanya untuk apa semua ini dituliskan, inilah, Tuan, caraku mensyukuri hari pertemuan kita.

Menuju Wisuda

       At least not at last, satu lagi masa-masa sulit dalam hidup saya hampir berhasil saya lewati. Sebentar lagi, saya akan diwisuda. Sungguh bukan perihal mudah untuk sampai pada kenyataan membahagiakan ini. Saya butuh waktu berbulan-bulan berkutat dengan laporan akhir saya. Saya harus menyelesaikan laporan dan pembuatan alat secara bersamaan sebelum deadline semakin dekat. Belum lagi kenyataan bahwa dosen pembimbing begitu sulit ditemui ditambah lagi revisi-revisi yang tidak pernah bersahabat. Saya harus merelakan waktu tidur dan istirahat berkurang. Saya juga harus memangkas waktu menonton atau sekedar pergi ke mall. Kantung mata pun makin hari makin menghitam, jerawat yang mulai bermunculan. Haha saya terlalu banyak menegluh.
       Tapi sungguh, semua ini tidak akan menjadi lebih mudah tanpa orang -orang disekeliling saya. Orang tua saya, mereka partisipan paling berpengaruh dalam memotivasi saya, mendukung secara moril dan materil. Saya tidak pernah kehabisan perhatian secuil pun. Adik saya, dia selalu punya cara untuk membuat saya lebih bersemangat. Saya mencintainya terus dan terus. Dan lelaki saya, i couldn't ask for another man. Dia lelaki terbaik yang pernah saya temui sejauh ini. Dia selalu rela menghadapi saya yang sering uring-uringan, selalu bersedia mengantar jemput saya kemanapun saya pinta. Lelaki saya ini membuat saya semakin tidak ingin melihat laki-laki lainnya. Teman-teman saya, mereka selalu menjadi tempat bertukar cerita, tentang masalah apa saja yang kami lewati hari ini.
       Dan hari itu, hari dimana nama saya akan dibubuhkan embel-embel gelar dibelakangnya, akan segera tiba. Saya akan menjadi luar biasa bahagia sekaligus sedih. Bahagia karena saya akan melihat senyum orang tua saya mengembang di wajah mereka. Sedih karena tidak akan ada lagi kebersamaan seintens itu bersama sahabat-sahabat saya. Terimakasih ya Allah karunia-Mu atas orang-orang yang luar biasa ini.

Sabtu, 12 Juli 2014

Lelaki Musim Hujan #2



Aku pernah merasa terpasung dalam menit-menit mematikan, menghujamiku dengan ratapan-ratapan penuh penghinaan ketika lelaki itu mencampakkanku. Aku beruntung karena aku tidak perlu sampai tertatih diujung kakinya, hingga Tuhan menepati janjinya mempertemukanku dengan seseorang yang baru, seseorang yang dengan aku melihat senyumnya saja, aku merasa seisi dunia tengah mencemburuiku karena aku adalah alasan atas senyuman magis itu tercipta. Seseorang yang dengan gelak tawanya saja, aku merasa bak peraih nobel perdamaian, karena tawanya mendamaikanku.

Kemarin ia menghadiahiku sepasang kelinci putih. Katanya kelinci-kelinci inilah yang akan memenuhi pekarangan rumah kami kelak, menemani kami minum teh atau sekedar melihat kebun mawar yang kami tanam bersama. Juga saat kami mulai menertawakan masing-masing gigi kami yang mulai tanggal atau rambut kami yang mulai memutih. Kelak, saat mimpi kami semakin menyata.

Hujan bisa tumbuh dimana saja, disudut bola mata, ditengah perayaan ‘thanks giving’ atau disela-sela kesembilan mata angin.

Hari ini pak pos tinggi tegap itu datang lagi, menyelipkan surat di sela-sela jeruji pagar lagi, aku memungutnya dan mendapati nama lelakiku di sampulnya. Aku membuka penutupnya dan mengeja isinya. Ia selalu tahu cara membuat perutku merasa tengah dipenuhi kupu-kupu. Ia mampu menyampaikan pesan yang tak mampu dilukiskan pelukis terhadap kuasnya yang menguning, juga jari-jari musikus terhadap tuts piano.

Kutipan Cerpen "Lelaki Musim Hujan"  oleh Syarah Tania

Jumat, 11 Juli 2014

Lelaki Musim Hujan #1


Aku berusaha mengingat lebih banyak. Entah pada hari apa tahun berapa, Aku menemukan diriku menangis sejadi-jadinya. Hari itu hujan dan aku menangis. Aku  tidak tahu mana yang lebih basah, hujan atau mataku.
Pertengahan malam tahun baru di sebuah tahun rahasia, belum pernah hujan sepelik itu mengguyurku tanpa ampun. Aku merasa kecil dihujaninya. Malam itu, bumi menangis deras sekali, Bukan tangis haru, melainkan tangisan yang mengiba. Malam pekat sekali seperti seorang penjahat yang menguntit anak kecil di taman bermain. Dan aku anak kecil itu, meringis kedinginan duduk bersandar di depan etalase pertokoan yang sedari tadi ditutup oleh pemiliknya.

We were both young when I first saw you
I close my eyes and the flashback start

Anak-anak kecil yang tadinya menari bermain kembang api di pinggir jalan, juga pengendara sepeda motor berhamburan ke bibir-bibir emperan toko atau berebut tempat di bawah pohon. Lalu aku? Aku merangkul tubuhku sendiri didepan etalase toko buku, berusaha mengabaikan beberapa panggilan masuk dari orang yang sama.

Jalanan tampak jahat, hitam sepekat jelaga, atau seperti monitor yang belum direparasi, Air di pelupuk mataku berhasil menghalangi pandangan,  hanya pantulan cahaya lampu di genangan air yang tampak. Aku membiarkan tangisan malam menghujani wajahku, membabi buta, seperti duri, perih sekali, merayap ke hati.
  
Kutipan Cerpen "Lelaki Musim Hujan"  oleh Syarah Tania