Aku pernah merasa terpasung dalam menit-menit mematikan, menghujamiku dengan ratapan-ratapan penuh penghinaan ketika lelaki itu mencampakkanku. Aku beruntung karena aku tidak perlu sampai tertatih diujung kakinya, hingga Tuhan menepati janjinya mempertemukanku dengan seseorang yang baru, seseorang yang dengan aku melihat senyumnya saja, aku merasa seisi dunia tengah mencemburuiku karena aku adalah alasan atas senyuman magis itu tercipta. Seseorang yang dengan gelak tawanya saja, aku merasa bak peraih nobel perdamaian, karena tawanya mendamaikanku.
Kemarin ia menghadiahiku
sepasang kelinci putih. Katanya kelinci-kelinci inilah yang akan memenuhi
pekarangan rumah kami kelak, menemani kami minum teh atau sekedar melihat kebun
mawar yang kami tanam bersama. Juga saat kami mulai menertawakan masing-masing
gigi kami yang mulai tanggal atau rambut kami yang mulai memutih. Kelak, saat
mimpi kami semakin menyata.
Hujan bisa tumbuh dimana saja, disudut bola mata,
ditengah perayaan ‘thanks giving’ atau disela-sela kesembilan mata angin.
Hari ini pak pos tinggi
tegap itu datang lagi, menyelipkan surat di sela-sela jeruji pagar lagi, aku
memungutnya dan mendapati nama lelakiku di sampulnya. Aku membuka penutupnya dan
mengeja isinya. Ia selalu tahu cara membuat perutku merasa tengah dipenuhi kupu-kupu. Ia mampu menyampaikan pesan yang tak mampu dilukiskan pelukis terhadap kuasnya yang
menguning, juga jari-jari musikus terhadap tuts piano.
Kutipan Cerpen "Lelaki Musim Hujan" oleh Syarah Tania
Tidak ada komentar:
Posting Komentar