“Aku
bersumpah nggak akan pernah menyukai tempat ini” Aku tengah menyingkirkan
bebatuan yang nyaris menyandung tepat sehasta didepan.
“Baiklah,
kita bertaruh, sugar!”
“Sebatang
cokelat?” Aku melirik perempuan muda disampingku, berusaha menyama-ratakan
langkah kami.
“Sepuluh
batang” Senyumnya melebar sempurna
“Baiklah,
lakukan apa yang harus dilakukan” Aku memberinya isyarat.
“Menyilangkan
jemari? Baiklah” Perempuan itu dengan sigap menyilangkan jemari tepat didepan
dadanya, dilanjutkan mengacak-acak rambutku detik berikutnya.
“Berapa
lama lagi kita sampai,kak?” Aku menyeka keringat yang melekat sempurna di
dahiku.
“Nggak
akan lama lagi kok” Ia menarik punggung tanganku, menjauhi semak berduri tepat
satu depa disamping kanan kami.
“Well,
jadi aku benar-benar harus bersekolah di tempat seperti ini, kak? Harus melewati
tempat sebegini menyeramkan setiap harinya. Ini bukan lelucon kan?”
Ia
menggeleng teratur.
____________
Gedung usang itu semakin terlihat
lebih dekat. Tidak terlalu buruk memang, hanya saja ada beberapa bagian
disana-sini yang nampak butuh perbaikan.
Aku melirik Stela lekat,
mengencangkan genggamanku pada jemarinya.
“Kak” Ia jelas tahu bahwa aku
tengah mencemaskan sesuatu.
“Tenang,sugar. Kamu hanya cukup
menyebutkan namamu didepan kelas dengan sedikit senyum” Ia menenangkanku.
Aku terlahir sebagai anak yang
canggung, dan jelas bukan pelaku adaptasi yang baik. Kenyataan yang dibicarakan
ayah di meja makan perihal aku yang harus bersekolah di tempat ini benar-benar
menohokku. Ayah bilang kami harus pindah ke tempat ini karena tuntutan
pekerjaannya yang mendesak.
Seingatku, aku kesulitan tidur
dalam beberapa hari. Memikirkan apa aku akan menyukai sekolah baruku, atau
sekedar menerka-nerka siapa yang akan menjadi teman sebangkuku.
Ini tahun ketiga-ku di sekolah
dasar, aku bahkan belum genap 8 tahun saat ini. Bagian yang paling kutakutkan
adalah, adalah memperkenalkan diri, aku tidak mahir dalam hal ini.
“Ayo, sugar. Kita hampir sampai”
Stela mengeratkan genggaman tangannya sekali lagi.
Aku merasakan butir-butir bening
menggenangi dahiku. Seseorang menyambut kami di bibir gerbang sekolah. Ia membicarakan
sesuatu dengan Stela dan aku sama sekali tidak berniat menguping, lalu
kuedarkan saja pandangan ke sekeliling sekolah, tidak seburuk yang
kuperkirakan. Dalam radius pandanganku, aku menangkap lekat pada sebuah jendela
kelas yang setengah terbuka, seseorang tengah tersenyum kearahku, memamerkan
sebaris gigi putih dan senyum penjamuan yang memecah sedikit mood burukku.
Anak laki-laki dengan senyum
perkenalan di sebuah jendela usang yang setengah terbuka, dan kupastikan
senyuman itu berkekuatan magis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar