Tentang Saya

Senin, 10 Oktober 2011

Untitled



Merelakan apa yang begitu kita inginkan. Ya, menyakitkan. Sakitnya tak hanya cukup sehari dua hari. Terkadang terbawa sampai mati. 


Seperti kalian, tentu aku sering kali merasakannya, walau tak setiap waktu. Tapi entah mengapa, merelakan apa yang begitu dinginkan—tak pernah mampu terbiasa mengalaminya. Selalu saja berhasil membuatku menangis lagi, dan lagi. Aku benci ketika mengalaminya, kemudian kembali mempertanyakan kemampuan diri sendiri, mempertanyakan soal usaha yang telah dikerahkan. Dan bagian yang paling kubenci, mempertanyakan sayang Tuhan, padaku. Sungguh aku benci bagian yang itu. Aku benci ketika aku mulai mempertanyakan apa yang Dia beri padaku. 


Seseorang harus mendengar keluhanku kemudian, rengekkan sumbang. Ya, mereka adalah sahabat. Ingin selalu bisa menceritakan yang baik-baik saja, tapi kembali lagi menyampah hal yang sama. Gagal, terkadang gagal membuatku menjadi manusia yang paling menyebalkan yang mampu kalian temui. Dan aku seringkali memilih untuk menyimpan kegagalanku sendiri. Memasukkannya dalam laci dan berharap kemudian mereka hilang begitu saja.


Saat kecil, ketika aku tidak mendapatkan apa yang kuinginkan. Aku akan merengek seharian lalu kemudian ibuku lelah mendengarnya dan menjadikannya nyata. Ibu, bisa jadi seperti Tuhan dalam wajah lain. Mengalah pada harapan anak-anaknya, walau belum tentu baik. Tetapi Tuhan tidak selemah mereka. Tuhan selalu hanya memiliki satu keputusan, bagaimana kau mampu menggoyahkanNya. Ketika kau bahkan tak tau apa yang sedang Dia persiapkan untukmu. Manusia cenderung sok tau. Dan Tuhan tak suka didahului keputusanNya. Kurasa ya, kurasa Tuhan tidak suka.


Ya, ini soal merelakan apa yang begitu kau inginkan. Tak melulu soal cinta, tak melulu urusan hati. Mereka walau butuh waktu, tapi akan sembuh kemudian berlalu. Tapi ketika kau harus merelakan impianmu, sebagian dari isi tujuan hidupmu. Ceritanya menjadi lebih dramatis. Menjadi tak cukup habis dalam satu episode saja. Atau bahkan akan menjadi film yang tak terselesaikan, yang bagian endingnya hanya memunculkan pertanyaan di benak penonton. Tapi aku sedang tidak menonton, aku lah yang menjalaninya. Aku ingin penonton pulang tanpa pertanyaan, dan kemudian aku terselesaikan. Katanya, film yang menggantungkan benak penontonnya, adalah film keren. Tapi siapa yang ingin cerita hidupnya digantungkan. Pernah kah kalian pikirkan nasib tokoh yang ada di dalamnya. Menyedihkan.


Aku memilih untuk terus berjalan. Memang ada pilihan lain? Mati pun aku tak berani, menjadi seonggok jasad yang kehujanan di dalam tanah basah bukanlah hal keren. Aku belum mau mati, tentu aku masih ingin dicintai dan menghidupi hidupku ini.


Aku sedang mencoba merelakan apa yang begitu aku inginkan, dulu aku mampu merelakan yang lain, maka kenapa yang ini tidak? Aku tentu akan merelakannya, aku hanya butuh waktu --- aku butuh mereka. Mereka saja, mereka yang mampu membereskan segalanya.

Ini adalah tentang sesuatu yang begitu enggan kau lepaskan. 
Semoga Tuhan tidak (lagi lagi) membaca tulisan ini. Dia sudah cukup bosan mendengarnya dari dalam hatiku. Melebihi berkali-kali.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar