Pagi ini nyaris sama seperti pagi
sebelumnya, saya membuka lini masa lengkap dengan hiruk pikuk di dalamnya. Ada
diantara mereka yang sibuk melaporkan prakiraan cuaca hari ini, ada yang
menulis serentetan kegiatan, tidak sedikit juga yang memberikan kalimat-kalimat
motivasi khas Mario Teguh, bahkan ada yang membuat pagi saya cukup bahagia
hanya dengan membaca lelucon-lelucon konyol yang terpampang di timeline
kepunyaan mereka atau lelucon yang dikemas dengan gambar seperti quote kekinian
milik dagelan.
Bedanya pagi ini saya cukup dikejutkan
oleh deretan keluhan seseorang yang saya ingat mempunyai kenyaris sempurnaan
hidup. Dia mengeluh tentang hidupnya yang sulit, tentang betapa ia berat melewati
hari-harinya, tentang mengapa hidupnya semenyedihkan itu. Saya terkejut, dia
bahkan memiliki apa yang selama ini selalu saya rapal dalam doa-doa saya
selepas solat. Dia memiliki apa yang selalu saya impikan siang malam. Lelucon
macam apa ini? Ketika seseorang begitu menginginkan sesuatu sementara ada
seseorang yang tengah menggenggamnya sibuk mengeluh akan hidupnya yang
menyedihkan. Mungkinkan ini suatu indikasi bahwa takaran kebahagiaan tiap-tiap
manusia itu berbeda? Atau mungkin ada diantara mereka yang kurang pandai
bersyukur?
Bahwa hidup memang tidak diciptakan untuk
mereka yang pandai mengeluh, yang hobi marah, yang dengan mudahnya meninggalkan
kekecewaan dihati orang lain, dan suka menyepelekan luka yang pernah dijalani
seseorang – Falafu
Saya menulis
ini bukanlah karena saya seorang maha pandai bersyukur satu dunia, tetapi
benar, hidup memang tidak pernah diciptakan untuk mereka yang suka mengeluh.
Saya pun begitu, beberapa waktu, mengeluh pernah menjadi kesukaan saya. Tapi
yang saya dapat setelahnya adalah kosong, melainkan keluhan itu sendiri.
Kita bahkan tidak pernah tahu berapa banyak orang yang
rela berdarah-darah untuk mendapatkan apa yang kita punya. Kita tidak pernah
tahu betapa bahagianya seorang pemulung saat menemukan gelas air mineral kosong
di selokan, kita tidak pernah belajar dari kesyukuran tukang parkir yang
bahagia mendapati hari ini pengunjung toko lebih banyak dari biasanya, kita
kadang lupa betapa ojek payung berbinar matanya saat hujan turun lebih lama
sore ini. Bukankah Tuhan telah berjanji atas bonus kenikmatan dari kesyukuran
yang kita ucap?
“Pada ketika aku mengeluh tidak ada kasut, masih ada manusia yang tersenyum
walaupun tidak ada kaki.” – Baharuddin Bekri
#30HariMenulisSuratCinta
Baru mampir udah suka sama tulisannya :)
BalasHapuswww.fikrimaulanaa.com