Tentang Saya

Rabu, 30 Mei 2018

Sumpahku Padamu

 
Ada permata-permata kecil di dalam ingatan. 
Selalu menyala, memberi ketenangan, sekalipun harus melangkah dengan memejam. 
Mungkin permata-permata itu memantulkan cahaya dari wajahmu; 
bayangan yang masih terpelihara di dalam hati.
 
Menyayangimu seperti mengalir, aku tak pernah menjumpai hilir. 
Tiada muara untuk aku dapat melupakanmu. 
Hingga di penghujung hari ini, 
katakanlah sisa sedikit langkah ke pintu masuk menuju esok, 
tetapi ada tumpukan kenangan yang menumpuk di kereta kecil yang kuseret.
 
Aku pernah meminta hatimu dengan sangat, tetapi tidak dengan memaksa. 
Aku tidak mungkin mengemis untuk memohon kau jujur pada dunia, 
bahwa akulah satu-satunya yang kau ingin mendampingimu, 
bahwa kau tak akan pernah menemukan kebahagiaan jika hidup tanpa kekuranganku. 
Sebab akulah pelengkapmu. 
Kau dan aku hanya akan menjumpai hari yang selalu seperti tak pernah berakhir.
 
Tidak, menurutku keadaan bukan pemenang, sebab cinta tiada lawan. 
Kau hanya menyerah dan seperti gelas yang jatuh ke lantai, mimpi kita tinggal serpihan. 
 
Sekarang baiklah, 
MENIKAHLAH DENGANNYA! AKU BERSUMPAH! 
WAJAHKU AKAN SELALU ADA DI TIAP KAU MEMEJAMKAN MATA. 
AKU BERSUMPAH!
SELAMA KAU MASIH INGAT NAMAKU, PELUKNYA AKAN SELALU TERASA HAMBAR. 
 
 
-ZH

Minggu, 20 Mei 2018

Kehilangan

 clouds, horizon, mirror, rain, sad, tumblr
“Siapa memulai? Entah. Tiba-tiba terhenti. Sudah. Lantas kemudian pergi. Enyah. Menyisakan luka kehilangan. Musnah.”
Petang mulai temaram kini. Jingga senja terlalap pekat hitam langit malam yang memuntahkan hujan. Menyisakan genangan basah juga aroma petrichor yang begitu sengit menusuk hidung. Menjadi lebih sunyi ketika kenangan tentangmu pelan-pelan mengetuk dadaku. Membawa serta kerinduan yang selama ini tak pernah bisa kulupakan. Tempias langit memang sudah lama berhenti, tapi hati masih begitu kuyup oleh tangis keresahan yang meraung sesenggukan memanggil namamu.
Kepergian dan kehilangan adalah kenangan menjemukan. Aku sudah terlalu bosan menikmati malam dengan cerita-cerita kesedihan. Hingga air mata sudah terlalu jenuh untuk merintik. Hingga lisan sudah terlampau kelu untuk mengucap keluh. Hingga tangis dan dendam tak lagi berarti banyak untuk menghadirkan tiadamu dalam setiap beradaku. Toh sekuat apapun aku berusaha, kesepianku tak benar-benar mampu membuatmu kembali datang dan terpeluk. Ah, kehilangan adalah skenario paling busuk.
Maka, inilah yang aku lakukan sekarang. Menuliskan setiap ratap kenestapaan dalam menghadapi kehilangan. Hingga pada akhirnya aku sampai pada sebuah titik kesimpulan. Ketika aku benar-benar menyadari. Bahwa ikhlas adalah sebaik-baiknya obat atas kehilangan.

Sabtu, 03 Februari 2018

Kita, Hujan dan Payung Teduh


Hari itu, sebuah sore paling menangis, hujan tumpah ruah.

Sayang,

Katakan padaku. Apa yang lebih basah dari sore dua hari yang lalu?
Dibanding kita dan percakapan, semangkuk sup dan alunan Payung Teduh.

Katakan padaku apa yang lebih api?
Dibandingkan perasaan yang bergumul di dada kita.

Seperti hujan yang menerbangkan bunga akasia di atas kap mobil kita , perasaan kita tak pernah tempias. Gemericiknya menari-nari sendiri macam bedaya menarikan bisu.

Langit gulita menahan kita. Kataku, bahumu adalah lembah surga yang terjatuh ketika batu-batu langit menghantam bumi dan memusnahkan dinosaurus. Aku tenggelam di dadamu, terpejam, seperti ombak yang salah mengira musim apa yang telah datang.

Aku ingin terlahir sebagai seseorang yang pertama kali kau lihat ketika matamu terbuka sebagai ombak yang telah mempelajari datangnya musim-musim.

Sore itu milik kita,
Pun Payung Teduh yang bercerita tentang sepasang muda mudi yang baru saja berikrar untuk mencoba lagi mencinta, di atas semua resah. Di ujung malam

Tapi…
Hari ini, kita memilih menyerah, ego menenggelamkan kita.
Kubilang kita berpisah saja, katamu ya sudah lah.
Kita kalah

Hari ini hujan lagi, tapi langit gersang
Karena seluruh hujan tumpah di wajahku

Sayang,
 kau menjelma batas negara
Aku imigran tersesat yang merindukan pulang
Pelukmu adalah konstitusi, ketiadaanmu laksana bui

Sayang,
Kita kalah.


- Palembang, Feb 2018

Minggu, 21 Januari 2018

Aku Ingin Mencintaimu Dengan Biasa Saja



aku ingin mencintaimu dengan biasa saja
tak sebodoh romeo kepada juliet
rela mati demi cinta
sebab hidup bersama
lebih indah


aku ingin mencintaimu dengan biasa saja
tak sedungu majnun kepada laila
rela gila demi cinta
sebab cerdas bersama
lebih mulia


aku ingin mencintaimu dengan biasa saja
sebagaimana manusia mencintai kehidupannya
tunduk pada kerelaan dan ketulusan
untuk didera kebahagiaan

Sabtu, 21 Mei 2016

We'll be Fine



Tentu saja kita akan berdebat dan berlanjut dengan pertengkaran kilat.
Jika ini terjadi, ingatlah bagaimana keberanian aku berpendapat pernah membuatmu kagum.
Dan aku akan mengingat tentang mulut kritismu yang membuatku terpukau.


Tentu saja kita nanti akan bosan mendengar cerita keseharian yang begitu-begitu saja.
Jika saat itu datang, ingatlah bagaimama rasanya tersiksa seharian di tempat kerja, satu-satunya yang membuatmu berjarak dariku.
Pun aku akan mengingat bagaimana aku tak sabar untuk segera pulang, bergelung di lengan super nyamanmu, dan pura-pura mengeluh demi usapan sayangmu di kepalaku.


Tentu saja kita nanti akan berselisih tentang apapun yang tak penting, sepele dan mengada-ada.
Jika ini terjadi, ingatlah selalu mengerikannya pagi yang tanpa wajah bangun tidurku.
Dan aku akan mengingat, bencinya aku melewati malam yang tanpa gangguanmu.


Tentu saja kita akan bosan dengan penampilan satu sama lain.
Tentu saja mata normal kita masih bisa membedakan mana yang menawan, mana yang membosankan.
Jika ini sudah menjangkiti, ingatlah bahwa tawaku pernah kamu damba-damba setiap malam hingga sakit kepala.
Dan aku akan mengingat bagaimana senyum malu-malumu selalu membuatku gemas hingga lemas.


Suatu hari, tentu saja kita bisa tiba-tiba berhenti saling menginginkan.
Jika ini sampai terjadi, cukup ingat saja bagaimana kita pernah begitu jatuh cinta yang lebih dari sekedar gila.

Maka, kita akan baik-baik saja.


-Melisalalalaa-