Hari itu, sebuah sore paling menangis, hujan
tumpah ruah.
Sayang,
Katakan padaku. Apa yang lebih basah dari sore dua hari yang lalu?
Dibanding kita dan percakapan, semangkuk sup dan alunan Payung Teduh.
Katakan padaku apa yang lebih api?
Dibandingkan perasaan yang bergumul di dada kita.
Seperti hujan yang
menerbangkan bunga akasia di atas kap mobil kita , perasaan kita tak pernah
tempias. Gemericiknya menari-nari sendiri macam bedaya menarikan bisu.
Langit gulita menahan kita.
Kataku, bahumu adalah lembah surga yang terjatuh ketika batu-batu langit
menghantam bumi dan memusnahkan dinosaurus. Aku tenggelam di dadamu, terpejam,
seperti ombak yang salah mengira musim apa yang telah datang.
Aku ingin terlahir sebagai seseorang yang pertama kali kau lihat ketika matamu terbuka sebagai ombak yang telah mempelajari datangnya musim-musim.
Aku ingin terlahir sebagai seseorang yang pertama kali kau lihat ketika matamu terbuka sebagai ombak yang telah mempelajari datangnya musim-musim.
Sore itu
milik kita,
Pun Payung Teduh yang bercerita tentang sepasang muda mudi yang baru saja berikrar untuk mencoba lagi mencinta, di atas semua resah. Di ujung malam
Pun Payung Teduh yang bercerita tentang sepasang muda mudi yang baru saja berikrar untuk mencoba lagi mencinta, di atas semua resah. Di ujung malam
Tapi…
Hari ini, kita memilih
menyerah, ego menenggelamkan kita.
Kubilang kita berpisah
saja, katamu ya sudah lah.
Kita kalah
Hari ini hujan lagi, tapi
langit gersang
Karena seluruh hujan tumpah di wajahku
Sayang,
kau menjelma batas negara
Aku imigran tersesat yang
merindukan pulang
Pelukmu adalah konstitusi,
ketiadaanmu laksana bui
Sayang,
Kita kalah.
- Palembang, Feb 2018