Aku pernah begitu jatuh, lupa cara
untuk bangkit dan berjalan lagi. Pernah begitu terpuruk dalam
kesedihan-kesedihan atas pengkhianatan dari indahnya setia yang aku jaga
rapat-rapat.
Lalu kau datang. Tak menawarkan apa-apa selain pundak dan dada yang melarungkan kesedihan-kesedihan.
Dan aku jatuh telak dalam dekapmu. Dalam
pelukan lengan yang terbitkan hangat di dalam dada. Dalam bisik peluk
paling puisi yang membuatku merasa begitu dicintai. Dan aku tak merasa
harus bangkit dari sana, tak merasa harus pergi dan berjalan lagi.
Sayang, betapa pelukmu adalah obat bagi rinduku yang pesakitan.
Betapa tawamu mampu hadirkan cahaya pada gulita yang membutakan.
Betapa kau begitu memesona bagi hatiku yang rapuh untuk kembali jatuh cinta.
Sungguh semesta mempertemukanku padamu agar aku belajar cara bersyukur.
Maka, jaga dirimu dan rindu (kita)
yang mengungkung dadamu baik-baik, sampai semesta mengizinkan temu dan
berjanjilah, saat (pertemuan) itu terjadi, kau dan aku akan sama-sama
membunuh rindu dalam dekapan-dekapan yang dicatat semesta sebagai terang
bagi bintang-bintang baru. Berjanjilah untuk ikut menyaksikan rindu yang mengusik kita selama ini mati satu-satu.
Kamu..
Terimakasih untuk datang di waktu yang tepat.
Terimakasih untuk tak pergi dan memilih memperjuangkan.
Terimakasih untuk mengingatkanku bagaimana cara jatuh cinta.
Kepada laki-laki yang paling pandai menyesaki dadaku dengan debar bahagia dan rindu, aku sayang kamu.